Wacana Bank Indonesia (BI) menyederhanakan pecahan mata uang (redenominasi) rupiah harus disertai sosialisasi masif kepada seluruh lapisan masyarakat.
BI dan pemerintah diminta tidak ceroboh mengabaikan dampak sosial dan psikologis apabila kebijakan itu diberlakukan tanpa sosialisasi yang memadai. Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, mengingatkan pemerintah dan BI bahwa pemahaman masyarakat Indonesia terhadap masalah-masalah perekonomian maupun keuangan sangat beragam.
Artinya, kebijakan perekonomian yang berdampak luas kepada masyarakat sebaiknya dipersiapkan dan disosialisasikan secara baik. “Harus ada koordinasi antara pemerintah, BI, dan seluruh pemangku kepentingan terkait kebijakan ini. Hal yang paling penting sosialisasi harus meluas dan mendalam,” ujarnya, di Jakarta kemarin.
Seperti diberitakan, BI menggulirkan wacana untuk melakukan penyederhanaan pecahan mata uang rupiah. Bank sentral beralasan, uang pecahan terbesar Indonesia, Rp100.000, merupakan yang terbesar kedua di dunia, setelah Vietnam dengan pecahan terbesar 500 ribu dong. Bila memperhitungkan Zimbabwe, yang pernah mencetak pecahan 100 miliar dolar, pecahan Rp100.000 menempati urutan ketiga terbesar.
Redenominasi adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa memangkas nilai mata uang tersebut. Semisal terjadi redenominasi tiga digit (3 angka 0), maka Rp1.000 menjadi Rp1. Nantinya pecahan mata Rp1 baru setara dengan denominasi Rp1.000 yang lama. Sigit Pramono menuturkan, Perbanas pada prinsipnya mendukung redenominasi lantaran akan meningkatkan efisiensi transaksi dan pembukuan.
Syaratnya, pemerintah dan BI berhati-hati sebelum memberlakukan kebijakan tersebut. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sandiaga Uno berharap masyarakat tidak menyikapi wacana redenominasi dengan berlebihan. Redenominasi merupakan ide bagus yang akan mempermudah transaksi. “Yang penting sekarang sosialisasi harus dilakukan dengan matang, baik tentang arti maupun tujuan redenominasi,” paparnya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo menegaskan bahwa wacana redenominasi rupiah masih merupakan kajian BI, belum merupakan keputusan resmi. Pemerintah belum membahas secara khusus kajian BI tersebut.
”Ada satu studi yang dilakukan BI, itu belum final,kami di pemerintah belum dikonsultasikan (oleh BI mengenai) hal itu. Jadi kami belum bisa bilang apa-apa. Itu masih lama dan masih studi,” ujarnya.
Berdasarkan studi yang dilakukan BI, redenominasi tidak akan berdampak buruk bagi perekonomian. Walau begitu pemerintah belum bisa menanggapi implementasi wacana itu. Lantaran sifatnya kajian, belum tentu redenominasi akan dilaksanakan menjadi sebuah kebijakan.
Butuh Biaya Besar
Kalangan bankir berpendapat implementasi redenominasi butuh biaya besar. Perbankan perlu menyesuaikan sistem teknologi informasi apabila redenominasi benar-benar diimplementasikan. “Kebijakan itu justru hanya akan meningkatkan biaya operasional, terutama masalah teknologi informasi. Belum lagi masalah yang timbul akibat kesalahan manusia,” ujar Direktur Utama Bank Agro Kemas M Arief.
Selain itu, yang tidak bisa diduga adalah kemungkinan reaksi masyarakat yang berlebihan. “Apalagi urgensi melakukan redenominasi ini juga belum jelas,” ungkap Kemas. Direktur Konsumer BII Stephen Liestyo mengatakan, sistem komputerisasi perbankan harus diubah apabila redenominasi dijalankan. Alasannya, dalam masa transisi ada dua mata uang yang berlaku, yakni rupiah lama dan rupiah baru.
“Sehingga perbankan harus mengubah komputerisasi untuk mengakomodasi hal tersebut,” kata Stephen. Presiden Direktur OCBC NISP Parwati Surjaudaja menilai redenominasi akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, redenominasi akan menjadikan pecahan mata uang lebih sederhana. Negatifnya, kebijakan itu butuh biaya, terutama untuk pengaturan sistem dan penyesuaian materi cetak.
”Kalau diyakini positifnya akan baik untuk negara kita dalam jangka panjang, kita akan konsekuen menjalankannya,” kata Parwati. Country Business Manager Citi Indonesia Tigoor M Siahaan menjelaskan, redenominasi akan menghabiskan biaya besar, baik dari BI sendiri maupun dari kalangan perbankan. Karena itu, dia berharap BI segera membuat program sosialisasi wacana itu secepatnya agar tidak menimbulkan kepanikan.
“Kebijakan itu tentu akan memakan biaya besar, terutama BI yang harus melakukan pencetakan uang kembali. Tapi bagi kami juga besar karena harus menyiapkan segala infrastrukturnya,” tambah Tigoor. Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi berharap BI mewaspadai dampak sosial yang akan terjadi setelah kebijakan itu diterapkan. Dia mengkhawatirkan trauma masyarakat pada kebijakan sanering pada 1966.
”Saya khawatir persepsi masyarakat seperti pada saat Orde Lama,sehingga mereka tidak percaya pada rupiah,”kata Glen.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito mengatakan, wacana redenominasi tidak akan berdampak besar bagi pasar modal. Wacana itu bukan isu penting yang memicu kekhawatiran pelaku pasar. “Kepanikan itu hanya investor individu,” ujar Ito. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wiryawan menyambut positif wacana redenominasi.
“Tidak masalah, justru (uang) akan lebih mudah dibawanya,” kata dia. Adapun dari sisi investasi, redenominasi tidak akan memberi imbas negatif terhadap investasi asing yang masuk ke Indonesia. Sebab, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang dalam negeri. Menurut dia, hal yang perlu mendapat perhatian, yakni saat praktiknya kelak. Dia berharap, jika redenominasi diterapkan, bisa berjalan dalam batas wajar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Menteri Perindustrian MS Hidayat beranggapan, penerapan redenominasi justru perlu dilakukan lantaran nominal mata uang Indonesia terbilang besar. “Di dunia, hanya kita (Indonesia) dan Vietnam yang nominasi mata uangnya besar,” ujarnya.
Hidayat berpandangan, redenominasi tidak akan memberikan pengaruh buruk terhadap sektor industri. Pelaku industri akan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Namun dia meminta sosialisasi redenominasi dilakukan dengan benar agar tidak mengagetkan kalangan industri ketika kebijakan tersebut direalisasikan.
Fokus Inflasi
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Nusron Wahid berharap Gubernur BI tidak lagi menggulirkan wacana kontraproduktif seperti redenominasi. Seharusnya BI lebih fokus mengurusi tugas pokoknya, yaitu mengendalikan stabilitas moneter (inflasi) dan nilai tukar serta mendorong intermediasi perbankan. “Kalau redenominasi ini sebaiknya didiskusikan di internal dulu. Jika situasinya sudah tepat, baru dikeluarkan,” katanya.
Menurut anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait, redenominasi seharusnya bukan menjadi prioritas BI saat ini. Dia meminta Gubernur BI terpilih Darmin Nasution fokus terhadap sembilan catatan yang telah direkomendasikan DPR sebelumnya. “Itu (redenominasi) bukan jadi prioritas Darmin kali ini. Sebaiknya Darmin fokus pada sembilan catatan yang telah kami berikan sebelumnya, saat pemilihan (gubernur BI),” ungkap Maruarar.
Sembilan catatan itu antara lain menurunkan suku bunga pinjaman, mengatasi dominasi perbankan asing, pengaturan hot money, asas resiprokal, mengendalikan moneter dan meningkatkan intermediasi perbankan. Sembilan catatan itu sudah menjadi komitmen bersama antara DPR dan Gubernur BI terpilih dan harus diwujudkan dalam bentuk peta kebijakan (roadmap) yang pro pada sektor riil. “Seharusnya Darmin fokus terhadap sembilan catatan yang kami minta, bukan membuat kebijakan lain,” tegasnya. (Bernadette Lilia Nova/Didik Purwanto/Juni Triyanto/J Erna)(//css)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar