Para pengguna Twitter langsung demam ajakan untuk membantu dunia sastra melalui hashtag #koinsastra. Ajakan tersebut muncul ketika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta mengurangi jatah suntikan modal ke Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.
Seperti yang sudah santer terdengar, ribuan koleksi karya sastra yang berada di kawasan Taman Ismail Marzuki ini terancam tutup. Pusat dokumentasi yang didirikan sejak tahun 1977 ini kekurangan modal baik untuk operasional maupun pengembangan perpustakaan.
Asal tahu saja, pusat dokumentasi yang menjadi rujukan penelitian sastra (modern) itu memiliki koleksi 16.316 judul buku fiksi, 11.990 judul buku nonfiksi, 457 judul buku referensi, 772 buku atau naskah drama, 750 map berisi biografi pengarang, 15.552 map kliping dari berbagai sumber, 610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan disertasi, serta 732 kaset rekaman suara dan 15 kaset rekaman video dari para sastrawan Indonesia.
Parahnya, saat saya pertama kali mengunjungi perpustakaan tersebut saat peluncuran novel Pipiet Senja, kondisinya memang sudah memprihatinkan. Malah saya lebih suka menyebutnya sebagai gudang. Padahal, isi dari "gudang" tersebut berisi sejarah karya sastra tanah air.
Ironinya, elit politik di gedung kura-kura itu justru masih asyik rebutan kekuasaan. Masalah sekecil itu saja, justru malah diabaikan. Parahnya, isu bom berupa paketan buku justru mendominasi berita di seluruh media massa. Pemberitaan mati suri perpustakaan bersejarah ini minim.
Saya belum tahu seberapa efektif para tweeps (pengguna twitter) mampu menggerakkan massa melalui gerakan #koinsastra seperti langkah Prita Mulyasari dalam mengumpulkan koinprita. Atau koin cinta Bilqis yang berusaha membantu Bilqis Anindya Passa, bayi berusia 17 bulan pengidap Atresia Bilier (saluran empedu yang tidak berkembang).
Padahal, saya berkeinginan memiliki perpustakaan atau bahkan museum seperti di film "Night at Museum". Di film tersebut, pemerintah harus membayar hanya untuk seorang penjaga museum. Pasalnya, koleksi di dalam museum tersebut berisi sejarah-sejarah bangsa.
Tapi, keinginanku itu mungkin hanya sebatas mimpi. Seharusnya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya. Lah kalau yang ini, buru-buru menghargai. Suntikan dananya saja sudah disunat oleh pemerintah.
Atau, sebaiknya perpustakaan ini diserahkan saja ke pihak swasta atau pihak-pihak yang biasa menangani perbukuan. Dengan dikelola swasta, nantinya mereka bisa membuat kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan seni dan bisa diberikan restribusi secukupnya.
Pasalnya, saya sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah saat ini. Duit yang sebenarnya untuk rakyat, malah hanya masuk ke kantong pribadi. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau hanya urusan begini saja tidak sanggup mengatasi??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar